Hadis: Hukum Menyetubuhi Istri Melalui Dubur
Teks Hadis
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
مَلْعُونٌ مَنْ أَتَى امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا
“Terlaknatlah orang yang menyetubuhi istrinya melalui dubur (anus).” (HR. Abu Dawud no. 2162; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 200; Ibnu Majah no. 1923; Ahmad, 15: 457. Dinilai hasan oleh Al-Albani.)
Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ
“Allah tidak memandang laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita melalui dubur.” (HR. Tirmidzi no. 1165; An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, 8: 197; Ibnu Hibban, 9: 517. Dinilai hasan oleh Al-Albani.)
Kandungan Hadis
Kandungan pertama
Hadis tersebut menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui duburnya, karena laknat hanya ditujukan pada perbuatan yang terlarang. Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وطء المرأة في دبرها حرام بالكتاب والسنة، وهو قول جماهير السلف والخلف، بل هو اللوطية الصغرى، وقال: من وطئ امرأته في دبرها وجب أن يعاقب على ذلك عقوبة تزجرهما، فإن عُلم أنهما لا ينزجران فإنه يجب التفريق بينهما
“Hubungan seksual dengan istri melalui duburnya hukumnya haram menurut Al-Quran dan As-Sunah, dan ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (terdahulu) dan khalaf (belakangan). Perbuatan ini bahkan dianggap sebagai bentuk kecil dari perilaku kaum Luth (sodomi). … Siapa pun (suami) yang berhubungan dengan istrinya melalui dubur, maka harus dihukum dengan hukuman yang dapat memberi efek jera kepada keduanya. Jika diketahui bahwa keduanya tidak jera (tidak menghentikan perbuatan tersebut), maka harus dipisahkan di antara mereka.” (Al-Fataawa, 32: 266)
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
هي اللوطية الصغرى
“Hal itu (menyetubuhi istri melalui dubur) adalah bentuk kecil dari perbuatan kaum Luth.” [1]
Kandungan kedua
Al-Quran, As-Sunah, dan akal sehat menunjukkan haramnya berhubungan intim dengan istri melalui dubur. Adapun Al-Quran, yaitu firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Maka jika kalian (istri) telah suci, datangilah mereka dari tempat yang diperintahkan oleh Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud dengan “tempat yang diperintahkan untuk didatangi” adalah melalui qubul (kemaluan), dengan dua dalil berikut ini:
Pertama: Allah Ta’ala berfirman,
نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)
Yang dimaksud “al-harts” (tempat bercocok tanam) adalah tempat untuk mendapatkan anak, yaitu qubul (kemaluan) yang merupakan tempat untuk menanam benih dari anak. Sementara itu, dubur (anus) bukanlah tempat untuk itu.
Kedua: Allah Ta’ala berfirman,
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
“Maka sekarang, setubuhilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Yang dimaksud dengan “yang telah ditetapkan Allah untukmu” adalah anak (keturunan). Dan telah kita ketahui bahwa untuk mendapatkan anak keturunan adalah dengan berhubungan intim melalui qubul, bukan melalui dubur.
Ada yang mengatakan bahwa firman Allah Ta’ala,
أَنَّى شِئْتُمْ
“bagaimana saja yang kamu kehendaki”; adalah dalil bolehnya berhubungan intim melalui dubur. Argumentasi ini dapat dijawab melalui dua metode berikut ini:
Pertama: Asbabun nuzul ayat ini bertentangan dengan klaim tersebut. Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,
كَانَتِ الْيَهُودُ تَقُولُ: إذَا أَتَي الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ مِنْ دُبُرِهَا في قُبُلِهَا كَانَ الْوَلَدُ أَحْوَلَ، فَنَزَلَتْ: نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Orang-orang Yahudi mengatakan, “Jika seseorang berhubungan dengan istrinya dari arah belakang melalui qubul [2], maka anak yang lahir akan menjadi cacat.” Lalu diturunkanlah firman Allah (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223) (HR. Bukhari no. 4528 dan Muslim no. 1435, 117)
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Jabir radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa makna ayat tersebut adalah: datangilah (setubuhilah) istri melalui qubul dengan posisi apa pun yang kalian inginkan, meskipun dari arah belakang (dari arah dubur). Sedangkan penafsiran sahabat yang terkait dengan sebab turunnya ayat memiliki hukum marfu’ (artinya, tafsir tersebut berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana dalam ilmu ushul.
Kedua: Jika ayat ini bersifat umum, yaitu bolehnya menyetubuhi istri melalui qubul atau dubur, maka ayat tersebut mendapat pengecualian dari As-Sunah yang menjelaskan haramnya berhubungan dengan istri melalui dubur, seperti hadis yang disebutkan di atas.
Adapun dalil dari As-Sunah tentang haramnya perbuatan ini, terdapat hadis dari Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan hadis-hadis yang diriwayatkan dari sahabat yang lainnya radhiyallahu ‘anhum. Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa jumlahnya mencapai empat belas hadis, dan sebagian besar dari hadis-hadis tersebut disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir rahimahumallah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1: 384)
Adapun dalil menurut akal sehat adalah:
Pertama: Allah Ta’ala mengharamkan hubungan seksual melalui qubul pada saat haid karena adanya kotoran (najis) yang menyertainya. Sedangkan dubur lebih layak untuk diharamkan karena kotoran dan najis yang selalu ada.
Kedua: Ijma’ (kesepakatan) para ulama bahwa wanita yang infertil (mandul) karena adanya kelainan anatomis pada vagina sehingga tidak bisa untuk berhubungan intim, maka hal itu dianggap sebagai aib (penyakit). Jika dubur diperbolehkan sebagai tempat untuk berhubungan intim, maka tidak seharusnya kelainan tersebut dianggap sebagai aib, karena ada penggantinya, yaitu dubur.
Kandungan ketiga
Adanya perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini tidaklah dianggap. Hal ini karena jelasnya hukum berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan dan lemahnya argumen dari pihak yang berseberangan, agar tidak menjadi celah (kesempatan) bagi siapa pun yang tergoda untuk melakukan perbuatan tercela ini. Namun, hal itu perlu disebutkan untuk menunjukkan kelemahan atau ketidakbenaran pendapat tersebut, atau kaum muslimin agar tidak terpedaya olehnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وأما الدبر فلم يبح قط على لسان نبي من الأنبياء، ومن نسب إلى بعض السلف إباحة وطء الزوجة في دبرها فقد غلط عليه …
“Adapun (berhubungan intim melalui) dubur, maka perbuatan itu sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan perkataan para Nabi. Adapun dibolehkannya perbuatan menyetubuhi istri melalui dubur yang dinisbatkan kepada sebagian salaf, maka itu adalah kekeliruan [3] … “ (Zaadul Ma’ad, 4: 257)
Al-Qurthubi rahimahullah berkata,
إن هذه الآية: نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ لا حجة فيها على المدعَى؛ إذ هي مخصصة بما ذكرناه، وبأحاديث صحيحة شهيرة رواها عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – اثنا عشر صحابيًّا، بمتون مختلفة، كلها متواردة على تحريم إتيان النساء في الأدبار … ثم قال: ولا ينبغي لمؤمن بالله واليوم الآخر أن يعرج في هذه النازلة على زلة عالم بعد أن تصح عنه، وقد حُذرنا من زلة العالم
“Sesungguhnya ayat ini (yang artinya), “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja yang kamu kehendaki”, tidak dapat digunakan sebagai hujah yang membolehkan perbuatan hubungan seksual melalui dubur. Hal ini karena ayat tersebut dikhususkan (dikecualikan) dengan dalil-dalil yang kami sebutkan. Juga (dikecualikan) dengan hadis-hadis sahih dan terkenal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari dua belas sahabat, dengan teks hadis yang beraneka ragam, namun semuanya menunjukkan haramnya menyetubuhi istri melalui dubur.”
Kemudian beliau melanjutkan, “Tidak selayaknya bagi seorang mukmin yang beriman kepada Allah dan hari akhir berpegang pada kesalahan (ketergelinciran) seorang ulama setelah penjelasan yang sahih diberikan kepadanya. Kita telah diperingatkan dari (mengikuti) ketergelinciran ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 4: 95)
Kandungan keempat
Haramnya hubungan seksual sesama jenis (homoseksual). Hal itu merupakan dosa besar dan merupakan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Perbuatan ini sangat tercela dan tidak dilakukan oleh kaum sebelum kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam. Menurut mayoritas ulama, hukuman bagi pelakunya adalah hukuman mati, baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah, bahkan sebagian ulama mengklaim ijmak dalam masalah ini.
Demikianlah pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam. [4]
***
@17 Rabiul awal 1446/ 21 September 2024
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan ampunan Rabb-nya,
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra (8: 195-196) dan Ahmad (11: 309). Sanadnya dinilai hasan. Akan tetapi, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa perkataan ini statusnya mawquf, yaitu perkataan ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma. Al-Bukhari berkata dalam At-Tarikh As-Shaghir (2: 273), “Versi marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi) tidak sahih.” Ibnu Katsir berkata dalam Tafsir-nya (1: 385) mengenai versi mawquf, “Ini lebih sahih.” Versi mawquf diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (4: 252) dan Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar (3: 46).
[2] Maksudnya, (maaf) suami membelakangi istri ketika berhubungan intim, namun tetap berhubungan melalui qubul.
[3] Pendapat yang membolehkan berhubungan intim melalui dubur diklaim merupakan pendapat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dan juga Imam Malik rahimahullah. Klaim ini adalah klaim yang tidak benar. Lihat penjelasan lebih detail di Minhatul ‘Allam (7: 327-328).
[4] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 323-328). Kutipan-kutipan dalam hadis di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Artikel asli: https://muslim.or.id/98533-hadis-hukum-menyetubuhi-istri-melalui-dubur.html